Tuak Din

Ini adalah cerita Ma’had angkatan 30 yang sungguh unik. Cerita ini disajikan semata mengenang beragam rupa murid Maulana al-Syaikh yang punya beragam kelebihan. Ditahun 1990-an itu ada dua murid MDQH di angkatan itu yang masuk MDQH tanpa menggunakan ijazah

Ini adalah cerita Ma’had angkatan 30 yang sungguh unik. Cerita ini disajikan semata mengenang beragam rupa murid Maulana al-Syaikh yang punya beragam kelebihan. Ditahun 1990-an itu ada dua murid MDQH di angkatan itu yang masuk MDQH tanpa menggunakan ijazah. Yang pertama adalah Zainuddin dan kedua Khairul Atho’. Zainuddin tidak pernah sekolah SD/MI apalagi SMP/MTs ataupun SMA/MA jadi sama sekali tidak punya ijazah.

Atho’ pernah punya ijazah sampai Aliyah namun dibakar oleh bapaknya. Ijazah tersebut dibakar karena Atho’ pernah kedapatan membawa pulang penghargaan lomba tingkat kecamatan ke rumahnya. Sertifikat lomba itu dinilai bapaknya sebagai celah untuk sombong dan takabbur. Jadilah kertas berstempel itu berubah menjadi abu dan debu jalanan Gresik kala itu. Bagi Udin, dalam hidupnya sama sekali dia tidak mengenal ijazah dan sertifikat penghargaan.

Kali ini akan diceritakan tentang Zainudin kecil yang menunaikan khidmatnya di Ummi Rahmatullah dan Maulana al-Syaikh. Jangan tanya dahulu tentang Khairul Atho’ lelaki dari kampung Maulana Malik Ibrahim tersebut. Biarlah Kiyai kharismatik itu kita kubur saja sementara kisahnya. Mari kita belajar dari lelaki dari hutan pegunungan di kaki Rinjani yang menghabiskan hidupnya untuk menjalani titah Maulana gurunya.

Zainudin lahir dengan postur mungil dan tumbuh sebagai lelaki berperawakan kecil. Lahir dari keluarga yang tinggal di hutan membuat ia akrab dengan kehidupan hutan dan menikmati alam kebersahajaan dalam kemiskinan yang menghimpit. Lahan kebun kopi yang hanya beberapa meter tidak mampu menopang ekonomi keluarga lelaki yang shalih itu. Langkah kecilnya menyeberang sungai mencari ikan kecil, kebiasaan memanjat pohon enau dilereng pusuk pas dan menyadap nira adalah pelajarannya. Menyabit rumput dan menggembala sapi adalah latihannya. Atau berlari mengejar ayam hutan, berburu burung tengkoah disungai pinggir hutan adalah keseharian lelaki sederhana itu.

Ketika umur sekolah, hasratnya belajar seperti layaknya kawan-kawannya dipinggir jalanan menuju Lombok Utara itu mulai tumbuh. Entah kemudian, tidak ada penjelasan mengapa kemudian dia tidak memilih untuk sekolah ke SD menuruni bukit-bukit itu seperti kawan-kawannya. Ia memilih mengaji di seorang ustaz di kawasan Gunung Sari. Entah pagi atau sore di tahun-tahun 1979-an itu setelah didoa ibunya, ia mengayuh hasratnya belajar ke pondok. Ia berjalan kaki tanpa alas kaki dalam keyakinan yang teguh bahwa SD bukanlah bagiannya di masa sekolah itu. Pilihan Allah telah jatuh padanya, yakni belajar agama seutuhnya. Mengaji. Mondok mengaji adalah kudrat-iradat-Nya yang dijalaninya dengan bismillah.

Ia belajar sepenuh hati kitab masa’ilah, perukunan, akhlaq lil banin, quran, nahwu, sharf, dan berbagai ilmu lainnya dalam tahun-tahun yang tidak dihitungnya. Sampailah suatu hari sang guru mursyidnya bercerita sekaligus memberi arahan dan nasihat; kalau kamu hafal quran tiga juz kamu bisa masuk Ma’had. Begitu tutur ustaznya tersebut. Arahan untuk masuk Ma’had tidak pernah diimpikan sama sekali. Ia tahu diri, dari mana Allah akan mengirim takdirnya lagi walhal ia sama sekali tidak pernah sekolah. Lalu dijalaninya saja ikhtiar menghafal Quran disela-sela pengajiannya di pondok itu.

Sampai datang suatu hari yang mengubah takdirnya. Sang ustaz memintanya untuk menuju arah Kayangan Gunung Sari. “Din, kamu sebaiknya berangkat mengaji kepada TGH. Anwar, MA. Beliau baru saja pulang dari Mesir. Ambil barakah pertama”. Demikian pesan gurunya tersebut. Itu sekitar tahun 1990-an. Ia pun pulang menemui ibunya di rumah sederhana di lereng-lereng bukit berhawa sejuk itu. Angin hutan masih lagi bersih. Dedaunan masih segar menyambut pemuda shalih itu pulang menemui ibunya.

“Inaq suru’ne tiang ngaji aning tuan guru Anwar”.
“Aok ke lekak wah anakku”.

Sebagai murid pertama dan paling tekun, ia dikenal baik oleh gurunya tersebut. Modal mengaji sebelumnya membuat ia memiliki kelebihan dimata gurunya. Sampai suatu waktu TGH. Anwar bertanya kepada anak-anak muridnya.
“Siapa yang mau sekolah ke Ma’had”
Dengan sigap Udin mengacungkan tangan sambil berkata dalam bahasa kampung apa adanya, “aku”
Sang guru tahu kemampuan Udin tetapi juga dia tahu Udin tidak berijazah.
Udin juga tahu diri tidak berijazah namun dia masih menyimpan janji hati gurunya sebelumnya bahwa siapa yang hafal Quran tiga juz insya Allah akan bisa masuk Ma’had.
Udin mantap keyakinannya dengan prasyarat tiga juz itu meskipun juga berhadapan dengan keraguan akibat tidak dimilikinya ijazah kertas mengkilat tersebut. Hingga suatu hari sang Tuan Guru membawa muridnya ke Pancor. Murid berkulit putih berpostur mungil dan bersuara nyaring itu mengikutinya menuju idarah atau kantor MDQH. Di idarah telah ada TGH. Lalu Anas Hasyri, wakil Amid (wakil Direktur) saat itu.
“Ustaz, tiang bawa anak tiang mau masuk Ma’had.”
“Mbe iye”
“No le duah”
“Suruk tame”
“Tuan Guru Anas berkomentar, “Kekocetne”
“Mmmm”
“Mbe ijzahn”
“Ndarak”
“Mmm...ndekn bau lamun ndrak ijazah”
“Anak ini memang ndak pernah sekolah, tapi silak diuji aja”
“Apa ujiannya.”
“Ya Quran, hadis arbain, akhlaq lilbanin, dan jurumiyah”
Setelah melalui ujian keilmuan itu, Udin dinyatakan diterima sebagai thalib Ma’had. Di ma’had, Udin adalah manusia unik. Bukan hanya karena postur kecil dan suara merdu dan relatif mendayu. Unik karena ia dikenal dekat di kalangan punggawa kelas sebagai murid yang amat telaten. Murid aneh itu adalah murid yang rajin masuk kampus, rajin belajar dan salah satu keutamaannya adalah rajin bertanya kepada sesama kawan.

Ia kerap mengganggu kawan dengan pertanyaan-pertanyaan dalam upaya kerasnya menggali hikmah dari lautan huruf dalam kitab-kitab itu. Udin tak kenal lelah apalagi menyerah membongkar ketidakpahamannya dalam bacaan kitab tersebut. Udin bukanlah tipe laki-laki yang malu bertanya sesat dijalan atau malu-maluin karena bertanya terus. Namun Udin tetaplah udin yang biasa saja. Biasa saja karena pengeras suara di ujung Aula saat Zikral Hauliyah ke-30 itu tidak menyebut namanya menjadi juara. Udin pun pulang dan kabarnya pun hilang.

Dua puluh tahun kemudian, Udin ditemui oleh salah satu sahabatnya. Sang sahabat ini pun bercerita tentang haru persuaannya dengan gaya tutur saya:
Suatu hari saya menggeber motor menuju arah Senggigi, terus menuju utara kearah Pelabuhan Telok Kodek jelang Pelabuhan Penyeberangan Bangsal. Saya menjumpai Tuan Guru Muda yang juga kawan sekelas angkatan 30. Tuan Guru muda yang meniti perjuangannya membangun pondok dengan kekuatan wirid dan doa. Hari itu hari Jumat, sebelum pukul sebelas motor meluncur dari rumah kawan itu menuju rumah kawan seorang pejabat Kabupaten. Rumahnya dihamparan dataran hijau dipinggir jalan di sebuah kampung bernama Menggala. Di sisi pondok pesantrennya saya dijamu makan siang dan disudahi dengan doa perjuangan.

Saya berusaha untuk dapat jumatan di masjid pusuk dengan harapan agar ada sisi rekreatif sambil mempelajari suasana ibadah di masjid di pinggir hutan itu. Dilereng itu terdapat masjid sederhana dan jelang azan itu telah hadir sekitar 30-an orang lelaki. Sebelum shalat tahiyat masjid, saya melihat seseorang yang saya kenal dahulu yang tak lain adalah Zainudin (panggil saja Udin). Selepas salam ia memberi isyarat selamat berjumpa dengan isyarat mata gembira dan bibirnya menyebut satu nama.
Sejenak terdengar pengumuman dari pengeras suara yang mengumumkan siapa petugas jumat saat itu.

Saya menunggu apakah Udin yang akan bertugas, ternyata bukan dia yang disebut namanya. Selepas azan itu rupanya sang petugas tidak siap dan meminta Zainuddin menjadi khatib. Persis ketika ia melangkah maju, saya melihat langkah itu persis langkah gontai lunglainya menuju Ma’had dahulu. Kostumnya juga persis seperti ma’had dahulu; berbaju koko bersih putih yang agak kedodoran. Dalemannya bertuliskan “milan keramik”. Hampir air mata saya menitik membayangkan masa Ma’had yang bersahaja itu. Saya yakin daleman itu bukan dibelinya di mall atau di butik, juga bukan di toko fashion. Daleman itu pasti pemberian orang yang berkenan. Mungkin juga daleman itu hadiah. Wallahu a’lam.

Saya menunggu detik ia memulai khutbahnya, alhamdulillah lancar. Mukaddimah dan ayat dibaca fasih dan seterusnya. Yang agak mencengangkan khutbah pertama begitu cepat usai dan dilanjutkan dengan khutbah kedua. Khutbah kedua jua selesai segera. Saya tidak menemukan kata-kata berbahasa Indonesia. Ia juga yang mengimami shalat dan saya terganggu juga dengan tulisan milan keramik yang bersejarah itu.

Saya harus menunggu lama selepas salam itu. Rupanya wiridnya tertib sampai doa dan jamaah khusuk mengikutinya. Dari pandangan yang sekilas itu saya yakin bahwa Udin memang diterima oleh jamaah di kawasan pusuk atau puncak itu. Aku ingin membuktikan apakah jamaah berebut keluar selepas salam atau tidak. Ternyata mereka tuntas sampai doa selesai dan itu salah satu pertanda bahwa sang pemimpinnya telah berhasil memimpin jamaahnya.

1 2 3
(Kisah nyata ini di ceritakan oleh Dr. Thohri dalam cerita pendek) mohon komentar dan saran guna kelancaran cerita selanjutnya

Mataram, 09 Dzulqa'idah 1436 H./24 Agustus 2015

By. Dr. Muhammad Thohri, M.Pd.

Tidak ada komentar: